KESELAMATAN KERJA DAN KETENAGAKERJAAN(K3)
“UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN
Undang –undang No.13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan”
Oleh :
Nama : 1.
Dedek Okta Wijaya (061130400292)
2. Jaka Oktasanova (061130400299)
3. Novi Retno Sari (061130400304)
4. Reta Triprima Nindianti (061130400308)
Pembimbing
: Adi Syakdani, S.T
PROGRAM
DIPLOMA –III
TEKNIK
KIMIA
POLITEKNIK
NEGRI SRIWIJAYA
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah Swt, karena berkat rahmat,
taufik, serta hidayahnya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa juga
kami mengucapkan banyak terima kasih kepada :
Bapak Adi
Syakdani, M.T. selaku
dosen pembimbing yang telah mengajarkan mata kuliah Keselamatan Kesehatan Kerja dan Hukum Ketenagakerjaan (K3) serta
membantu dalam kesulitan yang kami hadapi dalam pembuatan makalah ini.
Orang tua kami yang tak
henti-hentinya memberikan support baik
secara materi maupun dukungan, serta semangat dan doa nya kepada kami.
Teman-teman seperjuangan yang telah
membantu berpartisipasi serta memberikan dukungan kepada kami.
Dan untuk seluruhnya yang telah
memberikan dukungan dan doanya kepada kami yang tidak bisa kami sebutkan satu
per satu.
Semoga makalah
ini dapat berguna dan dapat membantu serta memberikan manfaat bagi kita semua
dalam proses balajar khususnya pada mata kuliah K3.
Dan akhirnya tim penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca dalam penyempurnaan makalah ini.
Palembang,
19 Januari 2012
Tim Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . . . 2
Daftar Isi . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . . . .
. . .
. . . 3
I.
UU no 13 Th 2003 Ketenagakerjaan
1.1 Bab X UU
Perlindungan, Pengupahan, dan Kesejahteraan
a.
Bagian Kesatu Perlindungan .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . . 4
b.
Bagian Kedua Pengupahan .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . . 8
c.
Bagian Ketiga Kesejahteraan .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . . 12
1.2
Bab XI UU tentang Hubungan Industrial
a.
Bagian Ke-1 Umum. .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . . . . .
. 13
b.
Bagian Ke-2 Serikat Pekerja/ Serikat Buruh. .
. . . . .
. . .
. . .
. . . .
. . .
. . .
. . . 14
c.
Bagian Ke-3 Organisasi Pengusaha. .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . 14
d.
Bagian Ke-4 Lembaga Kerja Sama
Bipartit. . .
. . . . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . . . 14
e.
Bagian Ke-5 Lembaga Kerja Sama
Tripartit. . .
. . . . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . . 14
f.
Bagian Ke-6 Peraturan Perusahaan. .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . 15
g.
Bagian Ke-7 Perjanjian Kerja
Bersama. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . 16
h.
Bagian Ke-8 Lembaga Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial .
. . .
. 21
II. Hubungan
Industrial
2.1 Pendahuluan . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . . 25
2.2 Ruang Lingkup Hubungan Industrial. .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. 25
2.3 Tujuan Hubungan Industrial.
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . . 26
2.4 Sarana-sarana dalam Hubungan Industrial. .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. 27
a.
Lembaga Kerja Sama Bipartit . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . . 27
b.
Lembaga Kerjsa Sama Tripartit. .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . . 29
c.
Organisasi Pekerja/Buruh . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . . .
. . . .. 29
d.
Organisasi Pengusaha . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . . . . 29
e.
Lembaga Penyelesaian Keluh Kesah dan
Hub. Industrial. . .
. . . . .
. . .
. . . 31
f.
Peraturan Perusahaan (PP) . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . 32
g.
Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
. . .
. . . . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . 34
h. Perjanjian
Kerja Khusus . . . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . .
. . . . . 35
DAFTAR PUSTAKA
UNDANG-UNDANG
NO. 13 TAHUN 2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN
BAB
X
PERLINDUNGAN,
PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN
Bagian Kesatu Perlindungan
Paragraf 1 Penyandang Cacat
Pasal
67
a. Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib
memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
b. Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Paragraf 2 Anak
Pasal
68
1. Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.
Pasal 69
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalamPasal 68 dapat dikecualikan bagi
anak berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk
melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan
kesehatan fisik, mental, dan sosial.
2. Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan :
·
izin tertulis dari orang tua atau
wali;
·
perjanjian kerja antara pengusaha
dengan orang tua atau wali;
·
waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
·
dilakukan pada siang hari dan
tidak mengganggu waktu sekolah;
·
keselamatan dan kesehatan kerja;
·
adanya hubungan kerja yang jelas;
dan
·
menerima upah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, b, f dan g
dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.
Pasal 70
1. Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian
dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang
berwenang.
2. Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berumur 14
(empat belas) tahun
3. Pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan
syarat :
·
diberi petunjuk yang jelas tentang
cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan
pekerjaan; dan
·
diberi perlindungan keselamatan
dan kesehatan kerja.
Pasal 71
1. Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
2. Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memenuhi syarat :
·
di bawah pengawasan langsung dari
orang tua atau wali;
·
waktu kerja paling lama 3 (tiga)
jam sehari; dan
·
kondisi dan lingkungan kerja tidak
mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah.
3. Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan
minat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 72
1. Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa,
maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.
Pasal 73
1. Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat
dibuktikan sebaliknya.
Pasal 74
1. Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan
yang terburuk.
2. Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud pada ayat (1) meliputi
:
·
segala pekerjaan dalam bentuk
perbudakan atau sejenisnya;
·
segala pekerjaan yang memanfaatkan
, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi,
pertunjukan porno, atau perjudian;
·
segala pekerjaan yang
memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan
minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau
·
semua pekerjaan yang membahayakan
kesehatan, keselamatan, atau moral anak.
3. Jenis-jenis pekerjaan yang membahaykan kesehatan, keselamatan, atau
moral anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 75
1. Pemerintah berkewjiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja
di luar hubungan kerja.
2. Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah
Paragraf 3 Perempuan
Pasal
76
1. Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas)
tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00
2. Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang
menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya
maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 s.d. 07.00.
3. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00
s.d pukul 07.00 wajib :
·
memberikan makanan dan minuman
bergizi; dan
·
menjaga kesusilaan dan keamanan
selama di tempat kerja
4. Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh
perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pulu 23.00 s.d pukul 05.00
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Paragraf 4 Waktu Kerja
Pasal
77
1. Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
2. Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
·
7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40
(empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu; atau
·
8(delapan) jam 1 (satu) hari dan
40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu.
3. Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku
bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
4. Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 78
1. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja
sebagaimana dimaksud dalamPasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat :
·
ada persetujuan pekerja/buruh yang
bersangkutan; dan
·
waktu kerja lembur hanya dapat
dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas)
jam dalam 1 (satu) minggu.
2. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
3. Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
4. Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal
79
1. Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
2. Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
·
istirahat antara jam kerja =
sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus
menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
·
istirahat mingguan 1 (satu) minggu
atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
·
cuti tahunan, sekurang-kurangnya
12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja
selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
·
istirahat panjang
sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan
kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama
6 (enam) tahun secara terus menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan
pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunanannya dalam 2
(dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja
6 (enam) tahun.
3. Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama.
4. Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d hanya
berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.
5. Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 80
1. Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada
pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
Pasal 81
1. Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan
memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan
kedua pada waktu haid.
2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 82
1. Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu
setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan
sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
2. Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak
memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat
keterangan dokter kandungan atau bidan.
Pasal 83
1. Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi
kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan
selama waktu kerja.
Pasal
84
1. Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d,Pasal 80, danPasal 82 berhak
mendapat upah penuh.
Pasal 85
1. Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi
2. Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada
hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus
dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau pada keadaan lain
berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
3. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan
pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membayar upah
kerja lembur.
4. Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Paragraf 5 Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pasal
86
1. Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :
·
keselamatan dan kesehatan kerja;
·
moral dan kesusilaan; dan
·
perlakuan yang sesuai dengan
harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
2. Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan
produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan
kesehatan kerja.
3. Perlindungan sebaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 87
1. Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
2. Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua Pengupahan
Pasal 88
1. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
2. Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan
pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
3. Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) meliputi :
·
upah minimum;
·
upah kerja lembur;
·
upah tidak masuk kerja karena
berhalangan;
·
upah tidak masuk kerja karena
melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
·
upah karena menjalankan hak waktu
istirahata kerjanya;
·
bentuk dan cara pembayaran upah
·
denda dan potongan upah;
·
hal-hal yang dapat diperhitungkan
dengan upah;
·
struktur dan skala pengupahan yang
proporsional;
·
upah untuk pembayaran pesangon;
dan
·
upah untuk perhitungan pajak
penghasilan.
4. Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan
produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Pasal 89
1. Upah minimum sebagaimana dimaksud dalamPasal 88 ayat (3) huruf a dapat
terdiri atas :
·
upah minimum berdasarkan wilayah
provinsi atau kabupaten/kota;
·
upah minimum berdasarkan sektor
pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
2. Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan kepada
pencapaian kebutuhan hidup layak.
3. Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi
dan/atau Bupati/Walikota.
4. Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 90
1. Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
2. Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana
dimaksud dalamPasal 89 dapat dilakukan penangguhan.
3. Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 91
1. Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha
dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah
dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih rendah
atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut
batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
92
1. Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan
golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
2. Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan
kemampuan perusahaan dan produktivitas.
3. Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 93
1. Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, dan
pengusaha wajib membayar upah apabila :
·
pekerja/buruh sakit sehingga tidak
dapat melakukan pekerjaan;
·
pekerja/buruh perempuan yang sakit
pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan
pekerjaan;
·
pekerja/buruh tidak masuk bekerja
karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya,
isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau
menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah
meninggal dunia;
·
pekerja/buruh tidak dapat
melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
·
pekerja/buruh tidak dapat
melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
·
pekerja/buruh bersedia melakukan
pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik
karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari
pengusaha;
·
pekerja/buruh melaksanakan hak
istirahat;
·
pekerja/buruh melaksanakan tugas
serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan
·
pekerja/buruh melaksanakan tugas
pendidikan dari perusahaan.
3. Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a sebagai berikut:
·
untuk 4 (empat) bulan pertama,
dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;
·
untuk 4 (empat) bulan kedua,
dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah;
·
untuk 4 (empat) bulan ketiga,
dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah;
·
untuk bulan selanjutnya dibayar 25
% (dua puluh lima perseratus) dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja
dilakukan oleh pengusaha.
4. Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sebagai berikut :
·
pekerja/buruh menikah, dibayar
untuk selama 3 (tiga) hari;
·
menikahkan anaknya, dibayar untuk
selama 2 (dua) hari;
·
mengkhitankan anaknya, dibayar
untuk selama 2 (dua) hari;
·
membaptiskan anaknya, dibayar
untuk selama 2 (dua) hari;
·
isteri melahirkan atau keguguran
kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
·
suami/isteri, orang tua/mertua
atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
·
anggota keluarga dalam satu rumah
meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu) hari;
5. Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 94
1. Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap
maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% (tujuh puluh lima perseratus)
dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.
Pasal 95
1. Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya
dapat dikenakan denda.
2. Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan
keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase
tertentu dari upah pekerja/buruh.
3. Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau
pekerja/buruh, dalam pembayaran upah.
4. dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari
pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
Pasal 96
1. Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang
timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu 2
(dua) tahun sejak timbulnya hak.
Pasal 97
1. Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan,
kebutuhan hidup yang layak, dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud
dalamPasal 98, penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud dalamPasal 89, dan
pengenaan denda sebagaimana dimaksud dalamPasal 95 ayat (1) dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 98
1. Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan
pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan
sistem pengupahan nasional dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota.
2. Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh,
perguruan tinggi, dan pakar.
3. Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden, sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi,
Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oelh Gubernur/Bupati/Walikota.
4. Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, serta
tugas dan tata kerja Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), diatur dengan Keputusan Presiden.
Bagian Ketiga Kesejahteraan
Pasal
99
1. Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan
sosial tenaga kerja.
2. Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 100
1. Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya,
pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan.
2. Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan
perusahaan.
3. Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai
dengan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 101
1. Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk koperasi
pekerja/buruh dan usaha-usaha produktif di perusahaan.
2. Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh
berupaya menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan usaha
produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud pada ayat 92), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
UNDANG-UNDANG
NO. 13 TAHUN 2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN
BAB
XI
HUBUNGAN
INDUSTRIAL
Bagian Kesatu Umum
Pasal 102
1.
Dalam melaksanakan hubungan
industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan
pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap
pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
2.
Dalam melaksanakan hubungan
industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruhnya mempunyai fungsi
menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi
kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan
ketrampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan
kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
3.
Dalam melaksankan hubungan
industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan
kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan
kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.
Pasal 103
1. Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana :
·
serikat pekerja/serikat buruh
·
organisasi pengusaha;
·
lembaga kerja sama bipartit;
·
lembaga kerja sama tripartit;
·
peraturan perusahaan;
·
perjanjian kerja bersama;
·
peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan; dan
·
lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
Bagian Kedua Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 104
1.
Setiap pekerja/buruh berhak
membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
2.
Dalam melaksanakan fungsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, serikat pekerja/serikat buruh berhak
menghimpun dan mengelola keuangan serta mempertanggungjawabkan keuangan
organisasi termasuk cara mogok.
3.
Besarnya dan tata cara pemungutan
dana mogok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam anggaran dasar
dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
Bagian Ketiga Organisasi Pengusaha
Pasal 105
1. Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi
pengusaha.2. Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keempat Lembaga Kerja Sama Bipartit
Pasal 106
1.
Setiap perusahaan yang
mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk
lembaga kerja sama bipartit.
2.
Lembaga kerja sama bipartit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai forum komunikasi, dan
konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan.
3.
Susunan keanggotaan lembaga kerja
sama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha
dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara demokratis
untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
4.
Ketentuan mengenai tata cara
pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Kelima Lembaga Kerja Sama Tripartit
Pasal 107
1.
Lembaga kerja sama tripartit
memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah dan pihak
terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan.
2.
Lembaga kerja sama Tripartit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari :
·
Lembaga Kerja sama Tripartit
Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota; dan
·
Lembaga Kerja sama Tripartit
Sektoral Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
3.
Keanggotaan Lembaga Kerja sama
Tripartit terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat
pekerja/serikat buruh.
4.
Tata kerja dan susunan organisasi
Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam Peraturan Perusahaan
Pasal 108
1. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah
disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
2. Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.
Pasal 109
1. Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari
pengusaha yang bersangkutan
Pasal 110
1.
Peraturan perusahaan disusun
dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di
perusahaan yang bersangkutan.
2.
Dalam hal di perusahaan yang
bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh maka wakil
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengurus serikat
pekerja/serikat buruh.
3.
Dalam hal di perusahaan yang
bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, wakil pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud pada ayat (10 adalah pekerja/buruh yang dipilih secara
demokratis untuk mewakili kepentingan para pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan.
Pasal 111
1. Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat :
·
hak dan kewajiban pengusaha;
·
hak dan kewajiban pekerja/buruh;
·
syarat kerja;
·
tata tertib perusahaan; dan
·
jangka waktu berlakunya peraturan
perusahaan.
2. Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib
diperbaharui setelah habis masa berlakunya.
4. Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat
pekerja/serikat buruh di perusahaan menghendaki perundingan pembuatan
perjanjian kerja bersama, maka pengusaha wajib melayani.
5. Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan
tetap berlaku sampai habis jangka waktu berlakunya.
Pasal 112
1.
Pengesahan peraturan perusahaan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108
ayat (1) harus sudah diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima.
2.
Apabila peraturan perusahaan telah
sesuai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), maka dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah
terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan oleh Menteri atau pejabat
yang ditunjuk, maka peraturan perusahaan dianggap telah mendapatkan pengesahan.
3.
Dalam hal peraturan perusahaan
belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) dan
ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk harus memberitahukan secara
tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan perusahaan.
4.
Dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan diterima oleh pengusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pengusaha wajib menyampaikan kembali peraturan
perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 113
1. Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya
hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil
pekerja/buruh.
2. Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus mendapat pengesahan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk
Pasal 114
1.
Pengusaha wajib memberitahukan dan
menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya
kepada pekerja/buruh.
Pasal 115
1. Ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan
perusahaan diatur dengan Keputusan Menteri
Bagian Ketujuh Perjanjian Kerja Bersama
Pasal 116
1.
Perjanjian kerja bersama dibuat
oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh
yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
2.
Penyusunan perjanjian kerja
bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara musyawarah.
3.
Perjanjian kerja bersama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat secara tertulis dengan huruf
latin dan menggunakan bahasa Indonesia.
4.
Dalam hal terdapat perjanjian
kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia, maka perjanjian
kerja bersama tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh
penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut dianggap sudah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 117
1.
Dalam hal musyawarah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai kesepakatan, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.
Pasal 118
1.
Dalam 1 (satu) perusahaan hanya
dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang berlaku bagi seluruh
pekerja/buruh di perusahaan.
Pasal 119
1. Dalam hal disatu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat
buruh, maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut berhak mewakili
pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha
apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari
jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
2. Dalam hal disatu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat
buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota
lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di
perusahaan maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh
dalam perundingan dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh perseratus) dari
jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara.
3. Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai
maka serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali
permintaan untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha setelah
melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan
suara dalam mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 120
1.
Dalam hal disatu perusahaan
terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh maka yang berhak
mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha yang jumlah
keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah
pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
2.
Dalam hal ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, maka serikat pekerja/serikat buruh
dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh
perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk
mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.
3.
Dalam hal ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka para serikat
pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan
secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat
pekerja/serikat buruh.
Pasal 121
1.
Keanggotaan serikat
pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120
dibuktikan dengan kartu tanda anggota.
Pasal 122
1.
Pemungutan suara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh panitia yang terdiri
dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang
disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
dan pengusaha.
Pasal 123
1. Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun.
2. Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperpanjang masa berlakunya paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan
tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh.
3. Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai
paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang
sedang berlaku.
4. Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mencapai
kesepakatan maka perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku
untuk paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 124
1.
Perjanjian kerja bersama paling
sedikit memuat :
·
hak dan kewajiban pengusaha;
·
hak dan kewajiban serikat
pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
·
jangka waktu dan tanggal mulai
berlakunya perjanjian kerja bersama, dan
·
tanda tangan para pihak pembuat
perjanjian kerja bersama
2.
Ketentuan dalam perjanjian kerja
bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3.
Dalam hal isi perjanjian kerja
bersama bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut
batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan.
Pasal 125
1. Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian
kerja bersama, maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.
Pasal 126
1. Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib
melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama
2. Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi
perjanjian kerja bersama atau perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh.
3. Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama
kepada setiap pekerja/buruh atas biaya perusahaan.
Pasal 127
1. Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak
boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama.
2. Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam
perjanjian kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan
dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal 128
1.
Dalam hal perjanjian kerja tidak
memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja bersama maka yang
berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal 129
1.
Pengusaha dilarang mengganti
perjanjian kerja bersama dengan peraturan perusahaan, selama di perusahaan yang
bersangkutan masih ada serikat pekerja/serikat buruh.2. Dalam hal di perusahaan
tidak ada lagi serikat pekerja/serikat buruh dan perjanjian kerja bersama
diganti dengan peraturan perusahaan, maka ketentuan yang ada dalam peraturan
perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang ada dalam perjanjian
kerja bersama.
Pasal 130
1.
Dalam hal perjanjian kerja bersama
yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau diperbaharui dan di
perusahaan tersebut hanya terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, maka
perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama tidak
mensyaratkan ketentuan dalam Pasal 119.
2.
Dalam hal perjanjian kerja bersama
yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau diperbaharui dan di
perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh
dan serikat pekerja/serikat buruh yang dulu berunding tidak lagi memenuhi
ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan
perjanjian kerja bersama dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang
anggotanya lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh
di perusahaan bersama-sama dengan serikat pekerja/serikat buruh yang membuat
perjanjian kerja bersama terdahulu dengan membentuk tim perunding secara
proporsional.
3.
Dalam hal perjanjian kerja bersama
yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau perbaharui dan di
perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh
dan tidak satupun serikat pekerja/serikat buruh yang ada memenuhi ketentuan
Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian
kerja bersama dilakukan menurut ketentuan Pasal 120 ayat (2) dan ayat (3).
Pasal 131
1.
Dalam hal terjadi pembubaran
serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan kepemilikan perusahaan maka
perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu
perjanjian kerja bersama.
2.
Dalam hal terjadi penggabungan
perusahaan (merger) dan masing-masing perusahaan mempunyai perjanjian kerja
bersama, maka perjanjian kerja bersama yang berlaku adalah perjanjian kerja
bersama yang lebih menguntungkan pekerja/buruh.
3.
Dalam hal terjadi penggabungan
perusahaan (merger) antara perusahaan yang mempunyai perjanjian kerja bersama
dengan perusahaan yang belum mempunyai perjanjian kerja bersama, maka
perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi perusahaan yang bergabung
(merger) sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
Pasal 132
1. Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari penandatanganan
kecuali ditentukan lain dalam perjanjian kerja bersama tersebut.
2. Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak yang membuat
perjanjian kerja bersama selanjutnya didaftarkan oleh pengusaha pada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 133
1.
Ketentuan mengenai persyaratan
serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan dan pendaftaran perjanjian
kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 134
1.
Dalam mewujudkan pelaksanaan hak
dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha, pemerintah wajib melaksanakan
pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pasal 135
1. Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam
mewujudkan hubungan industrial merupakan tanggung jawab pekerja/buruh,
pengusaha dan pemerintah.
Bagian Kedelapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
Paragraf 1 Perselisihan Hubungan Industrial
Pasal 136
1. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh
pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara
musyawarah untuk mufakat.
2. Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial
melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur
dengan undang-undang.
Paragraf 2 Mogok Kerja
Pasal 137
1.
Mogok kerja sebagai hak dasar
pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib
dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.
Pasal 138
1.
Pekerja/buruh dan/atau serikat
pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok
kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar hukum.
2.
Pekerja/buruh yang diajak mogok
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat memenuhi atau tidak memenuhi
ajakan tersebut.
Pasal 139
1.
Pelaksanaan mogok kerja bagi
pekerja/buruh yang bekeja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum
dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa
manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan
membahayakan keselamatan orang lain.
Pasal 140
1.
Sekurang-kurangnya dalam waktu 7
(tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat
pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
2.
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
·
waktu (hari, tanggal dan jam)
dimulai dan diakhir mogok kerja;
·
tempat mogok kerja;
·
alasan dan sebab-sebab mengapa
harus melakukan mogok kerja dan
·
tanda tangan ketua dan sekretaris
dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh
sebagai penanggungjawab mogok kerja.
3.
Dalam hal mogok kerja akan
dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani
oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau
penanggung jawab mogok kerja.
4.
Dalam hal mogok kerja dilakukan
tidak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka demi menyelamatkan alat produksi
dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara :
·
melarang para pekerja/buruh yang
mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi, atau;
·
bila dianggap perlu melarang
pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.
Pasal 141
1.
Instansi pemerintah dan pihak
perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda terima.
2.
Sebelum dan selama mogok kerja
berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan wajib
menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan
dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
3.
Dalam hal perundingan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuatkan
perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.
4.
Dalam hal perundingan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan
masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang berwenang.
5.
Dalam hal perundingan tidak
menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka atas dasar
perundingan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh atau
penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat diteruskan atau dihentikan
untuk sementara atau dihentikan sama sekali.
Pasal 142
1.
Mogok kerja yang dilakukan tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dan Pasal 140 adalah
mogok kerja tidak sah.2. Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 143
1.
Siapapun tidak dapat
menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh untuk
menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai.
2.
Siapapun dilarang melakukan
penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat
pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib, dan damai
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 144
1. Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 140, pengusaha dilarang :
·
mengganti pekerja/buruh yang mogok
kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan,atau
·
memberikan sanksi atau tindakan
balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat
pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.
Pasal 145
1. Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam
melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha,
pekerja/buruh berhak mendapatkan upah.Paragraf 3 Penutupan Perusahaan (lock
out)
Pasal 146
1. Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk
menolak pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan
sebagai akibat gagalnya perundingan
2. Pengusaha tidak dibenarkan
melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai tindakan balasan sehubungan
adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat
buruh.
3. Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
Pasal 147
1. Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada
perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan
yang membahayakan keselamatan jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan
jaringan air bersih, pusat pengendali telekomunikasi, pusat penyedia tenaga
listrik, pengolahan minyak dan gas bumi, serta kereta api.
Pasal 148
1. Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh
dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja
sebelum penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan.
2. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat :
·
waktu (hari, tanggal, dan jam)
dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan (lock out); dan
·
alasan dan sebab-sebab melakukan
penutupan perusahaan (lock out)
3. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh
pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 149
1. Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang menerima secara langsung surat
pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
148 harus memberikan tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari, tanggal,
dan jam penerimaan.
2. Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung,
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung
menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock
out) dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang
berselisih.
3. Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan
kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para
pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan sebagai saksi.
4. Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya
penutupan perusahaan (lock out) kepada lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
5. Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh, penutupan perusahaan (lock out) dapat diteruskan atau
dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.
6. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
diperlukan apabila :
·
Pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 140;
·
Pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normatif yang ditentukan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
HUBUNGAN INDUSTRIAL (INDUSTRIAL
RELATIONS)
I.PENDAHULUAN
Hubungan Industrial (Industrial Relations) adalah kegiatan yang
mendukung terciptanya hubungan yang harmonis antara pelaku bisnis yaitu
pengusaha, karyawan dan pemerintah, sehingga tercapai ketenangan bekerja dan
kelangsungan berusaha (Industrial Peace). Pada Undang‐Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun
2003 pasal 1 angka 16 Hubungan Industrial didefinisikan sebagai “Suatu sistem hubungan yang
terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari
unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada
nilai‐nilai Pancasila dan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.” Melihat
pentingnya kegiatan ini, masalah hubungan industrial perlu mendapat perhatian
khusus dalam penanganannya, karena berpengaruh besar terhadap kelangsungan
proses produksi yang terjadi di perusahaan. Keseimbangan antara pengusaha dan pekerja merupakan
tujuan ideal yang hendak dicapai agar terjadi hubungan yang harmonis antara pekerja dan
pengusaha karena tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan antara pekerja
dan pengusaha adalah hubungan yang saling membutuhkan dan saling mengisi satu
dengan yang lainnya. Pengusaha tidak akan dapat menghasilkan produk barang atau jasa jika tidak
didukung oleh pekerja, demikian pula sebaliknya. Yang paling mendasar
dalam Konsep Hubungan Industrial adalah Kemitra‐sejajaran antara Pekerja dan Pengusaha
yang keduanya mempunyai kepentingan yang sama, yaitu bersama‐sama ingin meningkatkan
taraf hidup dan mengembangkan perusahaan.
II.RUANG LINGKUP HUBUNGAN
INDUSTRIAL
A. Ruang Lingkup Cakupan
Pada dasarnya prinsip‐prinsip dalam hubungan industrial mencakup
seluruh tempat‐tempat kerja dimana para pekerja dan pengusaha bekerjasama dalam hubungan
kerja untuk mencapai tujuan usaha. Yang dimaksud hubungan kerja adalah hubungan
antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur
upah, perintah dan pekerjaan.
B. Ruang lingkup Fungsi
·
Fungsi Pemerintah : Menetapkan
kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan
pengawasan, dan melakukan penindakan
terhadap pelanggaran peraturan undang‐undang ketenagakerjaan yang
berlaku.
·
Fungsi Pekerja/Serikat Pekerja :
Menjalankan pekerjaan sesuai kewajibannya, menjaga
ketertiban demi kelangsungan produksi,
menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan ketrampilan, keahlian dan ikut
memajukan perusahaan serta
memperjuangkan kesejahteraan anggota dan keluarganya.
·
Fungsi Pengusaha : Menciptakan
kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja dan memberikan
kesejahteraan pekerja secara terbuka, demokratis serta berkeadilan.
C. Ruang Lingkup Masalah
Adalah seluruh permasalahan yang berkaitan baik langsung maupun tidak
langsung dengan hubungan antara pekerja, pengusaha dan pemerintah.
Didalamnya
termasuk :
a. Syarat‐syarat kerja
b. Pengupahan
c. Jam kerja
d. Jaminan sosial
e. Kesehatan dan keselamatan kerja
f.
Organisasi ketenagakerjaan
g. Iklim kerja
h. Cara penyelesaian keluh kesah dan perselisihan.
i.
Cara memecahkan persoalan yang
timbul secara baik, dsb.
D. Ruang Lingkup Peraturan/Per
Undang‐undangan Ketenagakerjaan
a.
Hukum Materiil
1. Undang‐undang ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003
2. Peraturan Pemerintah/Peraturan Pelaksanaan yang berlaku
3. Perjanjian Kerja Bersama (PKB), Peraturan Perusahaan (PP) dan
Perjanjian Kerja.
b.
Hukum Formal
1. Undang‐undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
2. Perpu No. 1 Tahun 2005, dan diberlakukan mulai 14 Januari 2006
III.TUJUAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Tujuan Hubungan
Industrial adalah mewujudkan Hubungan Industrial yang harmonis,
Dinamis,kondusif dan berkeadilan di perusahaan.
Ada tiga unsur
yang mendukung tercapainya tujuan hubungan industrial, yaitu :
a. Hak dan kewajiban terjamin dan dilaksanakan
b. Apabila timbul perselisihan dapat diselesaikan secara internal/bipartit
c. Mogok kerja oleh pekerja serta penutupan perusahaan (lock out) oleh
pengusaha, tidak perlu digunakan untuk memaksakan kehendak masing‐masing, karena
perselisihan yang terjadi telah dapat diselesaikan dengan baik.
Namun
demikian Sikap mental dan sosial para pengusaha dan pekerja juga sangat
berpengaruh dalam mencapai berhasilnya tujuan hubungan industrial yang kita karapkan.
Sikap
mental dan sosial yang mendukung tercapainya tujuan hubungan industrial
tersebut adalah :
1. Memperlakukan pekerja sebagai mitra, dan memperlakukan pengusaha
sebagai investor
2. Bersedia saling menerima dan meningkatkan hubungan kemitraan antara
pengusaha dan pekerja secara terbuka
3. Selalu tanggap terhadap kondisi sosial, upah, produktivitas dan
kesejahteraan pekerja
4. Saling mengembangkan forum komunikasi, musyawarah dan kekeluargaan.
IV.SARANA‐SARANA DALAM
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Agar tertibnya
kelangsungan dan suasana bekerja dalam hubungan industrial, maka perlu adanya peraturan‐peraturan
yang mengatur hubungan kerja yang harmonis dan kondusif. Peraturan tersebut
diharapkan mempunyai fungsi untuk mempercepat pembudayaan sikap mental dan
sikap sosial Hubungan Industrial. Oleh karena itu setiap peraturan dalam
hubungan kerja tersebut harus mencerminkan dan dijiwai oleh nilai‐nilai budaya
dalam perusahaan, terutama dengan nilai‐nilai yang terdapat dalam
Hubungan Industrial. Dengan demikian maka kehidupan dalam hubungan industrial berjalan
sesuai dengan nilai‐nilai budaya perusahaan tersebut.
Dengan adanya
pengaturan mengenai hal‐hal yang harus dilaksanakan oleh pekerja dan pengusaha dalam melaksanakan
hubungan industrial, maka diharapkan terjadi hubungan yang harmonis dan kondusif. Untuk
mewujudkan hal tersebut diperlukan sarana sebagaimana dimaksud dalam pasal 103 UU
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 bahwa hubungan industrial dilaksanakan melalui
sarana sebagai berikut :
A. Lembaga kerja sama Bipartit
B. Lembaga kerja sama Tri[artit
C. Organisasi Pekerja atau Serikat Pekerja/Buruh
D. Organisasi Pengusaha
E. Lembaga keluh kesah & penyelesaian perselisihan hubungan industrial
F. Peraturan Perusahaan
G. Perjanjian Kerja Bersama
A. LEMBAGA KERJASAMA (LKS)
BIPARTIT
Adalah suatu badan ditingkat usaha atau unit produksi yang dibentuk
oleh pekerja dan
pengusaha. Setiap pengusaha yang
mempekerjakan 50 (limapuluh) orang pekerja atau lebih dapat membentuk Lembaga
Kerja Sama (LKS) Bipartit dan anggota‐anggota yang terdiri dari unsur pengusaha dan
pekerja yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan dan keahlian. LKS Bipartit
bertugas dan berfungsi sebagai Forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah dalam memecahkan
permasalahan‐permasalahan ketenagakerjaan pada perusahaan guna kepentingan
pengusaha dan pekerja. Para manager perusahaan diharapkan ikut mendorong berfungsinya
Lembaga Kerjasama Bipartit, khususnya dalam hal mengatasi masalah bersama, misalnya
penyelesaian perselisihan industrial.
LKS Bipartit bertujuan :
1. Terwujudnya ketenangan kerja, disiplin dan ketenangan usaha,
2. Peningkatan kesejahteraan Pekerja dan perkembangan serta kelangsungan
hidup perusahaan.
3. Mengembangkan motivasi dan partisipasi pekerja sebagai pengusaha di
perusahaan.
Kriteria LKS Bipartit :
1. Pengurus terdiri dari minimal 6 anggota yang ditunjuk (3 wakil
pengusaha, 3 wakil pekerja).
2. Proses penunjukkan anggota dilaksanakan secara musyawarah dan mufakat.
3. Kepengurusan bersifat kolektif dan kekeluargaan.
4. Struktur kepengurusan (Ketua, Wakil Ketua, Sekertaris, merangkap
anggota dari 2 anggota)
5. Masa kerja kepengurusan 2 tahun dan dapat ditunjuk kembali.
6. Azasnya adalah kekeluargaan dan gotong royong dan musyawarah untuk
mufakat.
Dalam hal konsultasi
dengan pekerja, yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
a. Jika Perusahaan sudah memiliki Lembaga Kerja Sama (LKS) Bipartit,
konsultasi dapat dilakukan dengan lembaga tersebut, begitu pula jika ada Serikat
Pekerja, maka konsultasi dapat dilakukan dengan Serikat Pekerja yang telah disahkan.
b. Jika Lembaga Kerjasa Sama Bipartit dan Serikat Pekerja tidak ada, maka
konsultasi dapat dilakukan dengan karyawan yang ada dalam perusahaan tersebut.
Perundingan Bipartit :
Perundingan antara pengusaha dengan pekerja untuk menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial. Pengurus Bipartit menetapkan jadual acara dan waktu untuk
rapat perundingan.
Penyelesaian Melalui Bipartit
:
1. Perselisihan hubungan industrial wajib diselesaikan secara musyawarah
untuk mufakat;
2. Diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya
perundingan;
3. Dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak, sifatnya
mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak;
4. Wajib didaftarkan oleh para pihak kepada Pengadilan Hubungan Industrial
di Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian bersama;
5. Diberikan Akta Pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Perjanjian bersama;
6. Salah satu pihak atau pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan negeri di wilayah
Perjanjian Bersama didaftarkan.
7. Permohonan eksekusi dapat dilakukan melalui PHI di Pengadilan Negeri di
wilayah domisili pemohon untuk diteruskan ke PHI di Pengadilan Negeri yang
berkompeten melakukan eksekusi;
8. Perundingan dianggap gagal apabila salah satu pihak menolak perundingan
atau tidak tercapai kesepakatan;
9. Salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihan kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan
bukti upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
Risalah Perundingan Bipartit :
1. Nama lengkap dan alamat para pihak.
2. Tanggal dn tempat perundingan
3. Pokok masalah atau alasan perselisihan
4. Pendapat para pihak.
5. Kesimpulan atas hasil perundingan.
6. Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.
Tugas Instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan :
1. Meneliti perselisihan hubungan industrial, bukti upaya penyelesaian
melalui perundingan bipartit.
2. Mengembalikan berkas perselisihan paling lambat dalam waktu 7 hari
kerja apabila tidak dilengkapi bukti upaya penyelesaian perundingan bipartit.
3. Wajib menawarkan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase.
4. Dalam waktu 7 hari para pihak tidak menetapkan pilihan konsiliasi atau
arbitrase, melimpahkan penyelesaiannya kepada mediator.
B. LEMBAGA KERJA SAMA TRIPARTIT
Lembaga
kerjasama Tripartit merupakan LKS yang anggota‐anggotanya terdiri dari unsur- unsur pemerintahan, organisasi pekerja dan organisasi pengusaha. Fungsi
lembaga kerjasama Tripartit adalah sebagai FORUM Komunikasi, Konsultasi dengan
tugas utama menyatukan konsepsi, sikap dan rencana dalam mengahadapi masalah‐masalah ketenagakerjaan,
baik berdimensi waktu saat sekarang yang telah timbul karena faktor-faktor yang tidak diduga
maupun untuk mengatasi hal‐hal yang akan datang.
Dasar Hukum lembaga kerja
sama Bipartit dan Tripartit adalah :
1. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
2. Kepmenaker No. Kep.255/Men/2003 tentang Lembaga Kerjasama Bipartit
3. Kepmenaker No. Kep.355/Men/X/2009 tentang Lembaga Kerjasama Tripartit
C. ORGANISASI PEKERJA
Organisasi pekerja
adalah suatu organisasi yang didirikan secara sukarela dan demokratis dari, oleh dan
untuk pekerja dan berbentuk Serikat Pekerja, Gabungan serikat Pekerja, Federasi, dan Non
Federasi. Kehadiran Serikat Pekerja di perusahaan sangat penting dan strategis dalam
pengembangan dan pelaksanaan Hubungan Industrial.
Dasar Hukum Pendirian Serikat
Pekerja/Serikat Buruh diatur dalam :
1. UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
2. UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI
3. Kepmenaker No. 16 Tahun 2001 tentang Tatacara Pencatatan Serikat
Pekerja/Buruh
4. Kepmenaker No. 187 Tahun 2004 tentang Iuran anggota Serikat
Pekerja/Buruh
Setiap pekerja berhak untuk membentuk dan menjadi Anggota Serikat
Pekerja. Serikat
Pekerja
pada perusahaan berciri‐ciri sebagai berikut :
1. Dibentuk dari dan oleh pekerja secara demokrasi melalui musyawarah para
pekerja diperusahaan.
2. Bersifat mandiri, demokrasi, bebas dan bertanggung jawab.
3. Dibentuk berdasarkan SEKTOR usaha/lapangan kerja.
Pengusaha dilarang menghalangi pekerja untuk membentuk Serikat Pekerja
dan menjadi
pengurus
Serikat Pekerja dan pekerja yang menduduki jabatan tertentu dan/atau fungsi tugasnya dapat
menimbulkan pertentangan antara pengusaha dan pekerja tidak dapat menjadi pengurus
Serikat Pekerja Serikat Pekerja yang telah terdaftar secara hukum pada Departemen
Tenaga Kerja memiliki dua hal :
1. Berhak melakukan perundingan dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama
(PKB)
2. Berhak sebagai pihak dalam Penyelesaian Perselisihan Industrial.
D. ORGANIASI PENGUSAHA
Setiap pengusaha berhak untuk membentuk dan menjadi anggota organisasi
pengusaha yaitu Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yang khusus menangani
bidang ketenagakerjaan dalam rangka pelaksanaan Hubungan Industrial. Hal
tersebut tercermin dari visinya yaitu Terciptanya iklim usaha yang baik bagi dunia usaha
dan misinya adalah Meningkatkan hubungan industrial yang harmonis terutama ditingkat
perusahaan, Merepresentasikan dunia usaha Indonesia di lembaga ketenagakerjaan, dan
Melindungi, membela dan memberdayakan seluruh pelaku usaha khususnya anggota. Untuk
menjadi anggota APINDO Perusahaan dapat mendaftar di Dewan Pengurus
Kota/Kabupaten (DPK) atau di Dewan Pengurus Privinsi (DPP) atau di Dewan Pengurus Nasional
(DPN).
Bentuk pelayanan APINDO
adalah sebagai berikut :
1.
Pembelaan
a. Bantuan hukum baik bersifat konsultatif, pendampingan, legal opinion
maupun legal action di tingkat perusahaan dalam proses :
-
Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (PPHI)
-
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
- Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
- Perlindungan Lingkungan (Environmental).
b.
Pendampingan dalam penyusunan,
pembuatan dan perpanjangan Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
c.
Perundingan Pengusaha dengan Wakil
Pekerja/Buruh maupun dengan Pemerintah.
2.
Perlindungan
a. Apindo pro‐aktif dan turut serta dalam pembahasan pembuatan kebijakan
dan peraturan ketenagakerjaan di tingkat daerah maupun nasional.
b. Sosialisasi peraturan‐peraturan ketenagakerjaan tingkat nasional,
propinsi dan kabupaten.
c. Pro‐aktif dalam pembahasan penetapan upah minimum propinsi dan
kabupaten
d. Ikut serta mendorong penciptaan iklim hubungan industrial yang
harmonis, dinamis dan berkeadilan bagi dunia usaha melalui forum LKS Bipartit maupun LKS
Tripartit
3.
Pemberdayaan
a. Penyediaan informasi ketenagakerjaan yang selalu terbarukan dan relevan
b. Pelatihan/seminar masalah ketenagakerjaan di dalam dan di luar negeri
c. Konsultasi ketenagakerjaan mulai dari rekruitmen, tata laksana sampai
pasca kerja, termasuk keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dan perlindungan Lingkungan.
Landasan hukum APINDO adalah
sebagai berikut :
a. KADIN (Kamar Dagang Indonesia) menyerahkan sepenuhnya urusan ketenagakerjaan
kepada APINDO, karena hubungan industrial adalah salah satu dimensi manajemen
usaha.
b. Berdasarkan Kesepakatan kedua belah pihak yang diperkuat oleh SK Menakertranskop
No. 2224/MEN/1975 Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional terdiri dari :
1. Unsur Pemerintah diwakili Depnakertranskop
2. Unsur Pengusaha diwakili APINDO
3. Unsur Buruh diwakili FBSI
c. Pengakreditasian APINDO sebagai Wakil KADIN Indonesia dalam Kelembagaan Hubungan
Indutrial dengan Keputusan Dewan Pengurus KADIN Indonesia No. 037/SKEP/DP/VII/2002
tanggal 31 Juli 2002
d. Pembaruan pengakreditasian APINDO sebagai Wakil KADIN Indonesia dalam Kelembagaan
Hubungan Industrial dengan Keputusan Dewan Pengurus KADIN Indonesia No.
019/SKEP/DP/III/2004 tanggal 5 Maret 2004.
Dengan
kata lain, dalam rangka hubungan industrial, organisasi ketenagakerjaan
mempunyai peranmpenting sebagai pelaku, baik langsung maupun tidak langsung dan pemberi
warna pada falsafah serta proses Hubungan Industrial itu sendiri. Pengusaha dan Pemerintah
dalam kehidupan ketenagakerjaan sehari‐hari, kehadiran serikat pekerja dan organisasi
pengusaha sangatlah diperlukan.
Berdasarkan ciri‐ciri umum organisasi ketenagakerjaan yang sesuai
dengan tuntutan Hubungan Indiustrial Pancasila (HIP), maka ciri khusus yang diharapkan baik dari
organisasi pekerja, pengusaha maupun profesi adalah :
1. Organisasi didirikan untuk meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab
anggota dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
2. Organisasi didirikan untuk meningkatkan efektifitas komunikasi antara
para pelaku proses produksi barang dan jasa.
3. Organisasi didirikan untuk lebih menyerasikan penghayatan hak dan
kewajiban masing-masing anggotanya dan mengefektifkan pengalaman secara selaras, serasi dan
seimbang.
4. Organisasi didirikan untuk bersama‐sama mengisi dan mengembangkan isi
syarat‐syarat kerja dan meningkatkan praktek‐praktek Hubungan Industrial.
5. Organisasi didirikan untuk lebih mengefektifkan pendidikan dibidang
ketenagakerjaan.
Lembaga/Badan lain sebagai penunjang Hubungan Industrial :
Untuk
lebih menunjang dan mendukung hal tersebut diatas masih perlu dibentuk badan-badanblain yang berorientasi
pada kebersamaan, keselarasan, dan keseimbangan. Bentuk badan tersebut
anggotaannya juga semua pekerja perusahaan tersebut. Badan itu antara lain Koperasi,
Persatuan Olah Raga dan Seni, Persatuan Rekreasi dsb.
E. LEMBAGA PENYELESAIAN KELUH
KESAH DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Dalam perjalanan Hubungan Industrial untuk mencapai suatu masyarakat
industri yangdiharapkan, benturan‐benturan antara para pelaku yang timbul sebagai akibat belum
serasinya pemakaian ukuran dan kacamata untuk menilai permasalahan bersama kadang‐kadang
tidak dapat dihindari. Keluh kesah bisa juga terjadi akibat berbagai pertanyaan yang timbul
baik dari pekerja ataupun dari pengusaha yang berkaitan dengan penafsiran atau
pelaksanaan peraturan perundang‐undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama. Dapat juga karena berbagai tuntutan dari salah satu
pihak terhadap pihak lain yang melanggar peraturan perundang‐undangan, perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja besama.
Dengan demikian untuk menghindari benturan‐benturan tersebut perlu
dikembangkan suatu mekanisme penyelesaian keluh kesah sehingga benih‐benih perselisihan
tingkat pertama seharusnya
diselesaikan diantara pelaku itu sendiri. Mekanisme
penyelesaian keluh kesah merupakan sarana yang seharusnya diadakan setiap perusahaan.
Mekanisme ini harus transparan dan merupakan bagian dari Perjanjian Kerja, Peratura Perusahaan (PP)
atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Dalam pelaksanaan fungsi‐fungsi supervisi dari
setiap para manajer merupakan kunci terlaksananya mekanisme ini. Dalam hal
perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan dalam lembaga mekanisme
penyelesaian keluh kesah ini. Penyelesaian dapat dilaksanakan lebih lanjut sesuai
dengan Peratura perundangundangan yang berlaku.
1. PENYELESAIAN KELUH KESAH
A. Penyelesaian keluh kesah yang timbul di perusahaan didasarkan pada
prinsip musyawarah untuk mufakat secara kekeluargaan antara pekerja dengan atasannya tanpa
campur tangan pihak lain.
B. Apabila seorang pekerja mempunyai keluh kesah tentang segala sesuatu
mengenai hubungan kerja, pertama‐tama pekerja tersebut menyampaikan keluh
kesahnya pada atasannya langsung untuk dimintakan penyelesaian.
C. Apabila atasan langsung yang bersangkutan tidak menyelesaikannya atau
pekerja tidak puas atas penyelesaiannya, pekerja mengajukan masalahnya kepada atasan yang
lebih tinggi.
D. Apabila atasan yang lebih tinggi tidak bisa menyelesaikannya atau
pekerja tidak puas atas penyelesainnya maka pekerja dapat minta bantuan pengurus serikat
pekerja untuk mewakili atau mendampingi pekerja untuk penyelesainnya lebih lanjut.
2. PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
Perselisihan Hubungan Industrial terjadi akibat perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena
adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan
antara serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan.
Perselisihan
Hubungan Industrial timbul karena :
A. Tidak dilaksanakannya hak pekerja
B. Kesadaran pekerja akan perbaikan kesejahteraan
C. Kurangnya komunikasi antara pekerja dengan pengusaha
Penyelesaian Hubungan
Industrial dapat dilakukan sebagai berikut :
A. Penyelesaian diluar Pengadilan Hubungan Industrial
-
Bipartit (wajib Pasal 4 ayat (2)
UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(PPHI)
-
Mediasi, Konsiliasi, Arbiter
(wajib Pasal 83, UU No.2 Tahun 2004)
B.
Pengadilan Hubungan Industrial
-
Hukum Acara Perdata Pasal 57, UU
No. 2 tahun 2004
F. PERATURAN PERUSAHAAN
Peraturan Perusahaan adalah suatu peraturan yang dibuat secara tertulis
yang memuat ketentuan-ketentuan tentang syarat‐syarat kerja serta tata tertib perusahaan.
1. Ketentuan Khusus
Beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan dalam pembuatan Peraturan
Perusahaan adalah :
1. Wajib dibuat oleh pengusaha yang mempekerjakan 25 orang karyawan atau
lebih.
2. Dalam pembuatannya pengusaha mengadakan konsultasi lebih dahulu dengan pekerja/pegawai
Depnaker setempat.
3. Perusahaan yang telah mempunyai Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tidak
dapat menggantikannya dengan Peraturan Perusahaan.
4. Peraturan Perusahaan sebelum diterapkan (berlaku) setelah mendapat pengesahan/kesaksian
dari Departemen Tenaga Kerja cq. Dirjen Binawas untuk Peraturan Perusahaan yang
berlaku di seluruh wilayah RI, dan Kadinas/Kasudinas Tenaga Kerja setempat
untuk yang berlaku di wilayah tersebut. Tujuh hari setelah pengesahan Peraturan
Perusahaan harus di sosialisasikan kepada seluruh karyawan.
5. Peraturan Perusahaan berlaku paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang
kembali. Masing‐masing Peratutan Perusahaan secara periodik perlu diadakan
perubahan dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang ada. Setiap perubahan ini
sebelum dilaksanakan harus mendapat pengesahan/kesaksian dari Depnaker/Disnaker atau pejabat
yang ditunjuk.
2. Dasar Hukum
Dasar
Hukum pembuatan Peraturan Perusahaan ini adalah :
1.
Undang‐undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 115
2.
Kepmenaker No. Kep. 48/Men/IV/2004 tentang Tatacara Pembuatan dan
Pengesahan Peraturan Perusahaan (PP)
serta Pembuatan dan Pendaftaran PKB.
Pada
umumnya penyusunan Peraturan Perusahaan sudah merupakan suatu hal yangnstandar, dimana beberapa
ketentuan yang ada dalam perundang‐undangan ketenagakerjaan dimasukkan
kedalam Peraturan Perusahaan, baru kemudian ditambahkan dengan hal‐hal umum dan spesifik
yang diperlukan perusahaan tersebut.
3.
Kerangka Peraturan Perusahaan
Sistimatika
atau kerangka yang ideal Peraturan Perusahaan dapat dirumuskan sebagai
berikut
:
1. Kata Pengantar
2. Daftar Isi
3. Mukadimah
4. Umum
5. Aturan Perusahaan (Bab II)
6. Jam Kerja, Peraturan Kerda dan Disiplin Kerja (Bab III)
7. Pembebasan kewajiban dari bekerja (Bab IV)
8. Penggajian (Bab V)
9. Perjalanan Dinas (Bab VI)
10. Jaminan Kesehatan 9bab VII)
11. Pengembangan dan Pelatihan (Bab VIII)
12. Penghargaan (Bab IX)
13. Kegiatan/aktivitas (Bab X)
14. Penyelesaian Keluh Kesah (Bab XI)
15. Penutup (XII)
4.
Ketentuan Umum
Hal‐hal
umum yang perlu diperhatikan :
1. Bila masa berlaku Peraturan Perusahaan belum berakhir kemudian
terbentuk Serikat
Pekerja, dan Serikan Pekerja meminta
diadakan perundingan untuk pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), maka perusahaan
wajib melayani kehendak Serikat Pekerja untuk merundingkan pembuartan Perjanjian
Kerja Bersama.
2. Bilamana Serikat Pekerja 3 bulan sebelum Peraturan Perusahaan berakhir
tidak mengajukan secara tertulis untuk perundingan pembuatan Perjanjian Kerja
Bersama, maka perusahaan wajib mengajukan Peraturan Perusahaan yang lama/yang
tidak diperbaharui untuk disyahkan atau diperpanjang.
3. Ketentuan yang ada dalam Peraturan Perusahaan tetap berlaku sampai
dengan ditandatangani Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan atau sampai dengan
disyahkan permohonan diperpanjang Peraturan Perusahaan.
4. Pelanggaran‐pelanggaran yang dilakukan terhadap Peraturan Perusahaan
ini, sanksi yang diberikan berupa administratif, bukan pidana
G.PERJANJIAN KERJA BERSAMA
(PKB)
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah perjanjian yang disusun oleh
pengusaha dan serikat yang
telah terdaftar yang dilaksanakan secara musyawarah untuk
mencapai mufakat.
1.
Dasar Hukum
Dasar Hukum pembuatan PKB ini didasarkan kepada :
1. Undang‐Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 115 yang
mengatur tentang pembuatan dan pendaftaran Peraturan Perusahaan (PP) dan
Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
2. Kepmenaker No. Kep. 48/Men/IV/2004 tentang tatacara Pembuatan dan
Pengesahan Peraturan Perusahaan (PP) serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian
Kerja Bersamab(PKB).
2. Ketentuan Khusus
Ketentuan khusus dalam penyusunan PKB beberapa ketentuan harus
diperhatikan :
1.
Dirundingkan oleh pengusaha dan
Serikat Pekerja yang telah terdaftar.
2.
Didukung oleh SEBAGIAN BESAR
pekerja di perusahaan tersebut.
3.
Masa berlaku 2 tahun dan dapat
diperpanjang.
4.
Setiap perpanjangan PKB harus
disetujuai secara TERTULIS oleh pengusaha dan Serikat Pekerja serta diajukan 90
hari sebelum masa PKB berakhir.
5.
Dibuat dengn Surat Resmi
sekurang‐kurangnya rangkap 3 (satu bundel diserahkan ke Depnaker untuk
didaftarkan).
6.
PKB yang telah disepakati dibubuhi
tanggan dan ditandatangani oleh pengurus yang oleh anggota dasar
diperbolehkan, jika diwakilkan harus ada surat kuasa,
7.
Ketentuan PKB tidak boleh
bertentangan dengan perundang‐undangan yang berlaku.
3. Ketentuan Umum
1.
PKB sekurang‐kurangnya memuat :
a.
Hak dan kewajiban pengusaha.
b.
Hak dan kewajiban Serikat Pekerja
c.
Tata tertib perusahaan
d.
Jangka waktu berlakunya PKB
e.
Tanggal mulai berlakunya PKB.
f.
Tanda tangan para pihak yang
membuat
2.
Dalam hal perubahan PKB perlu
diperhatikan sebagai berikut :
a.
Keinginan untuk melakukan
perubahan tersebut oleh para pihak harus diajukan secara tertulis.
b. Perubahan PKB harus dilakukan berdasarkan Perjanjian Bersama secara
tertulis antara pengusaha dan pekerja.
c. Perubahan PKB yang diperjanjikan kedua belah pihak merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari PKB yang sedang berlaku.
3.
Para Pihak yang terikat dengan PKB
Para pihak yang terikat
dengan PKB adalah pihak‐pihak yang membuatnya yaitu Serikat Pekerja/pekerja
dan Pengusaha.
4.
Tahap Pembuatan PKB
Dalam pembuatan PKB
dibagi beberapa tahap yaitu :
1. Serikat Pekerja/Buruh dan Pengusaha menunjuk team perunding pembuat PKB
secara resmi dengan surat kuasa yang ditandatangani pimpinan masing‐masing.
2. Permusyawaratan PKB dalam perundingan Bipartit harus selesai dalam
waktu 30 hari.
3. Apabila dalam waktu 30 hari perundingan Bipartit belum selesai, maka
salah satu atau kedua belah pihak wajib melaporkan secara tertulis ke Departemen Tenaga Kerja
setempat untuk diperantarai.
4. Apabila dalam waktu 30 hari pegawai perantara tidak dapat menyelesaikan
pembuatan PKB, maka pegawai perantara melaporkan secara tertulis ke Menteri Tenaga
Kerja.
5. Menteri Tenaga Kerja menetapkan langkah‐langkah penyelesaian pembuatan
PKB, dengan memperhatikan hasil musyawarah tingkat Bipartit dan perantara paling
lama 30 hari.
6. Tempat perundingan pembuatan PKB dilaksanakan di kantor
pengusaha/Serikat Pekerja atau ditempat lain yang telah disepakati tingkat
Bipartit.
7. Biaya permusyawaratan PKB ditanggung pengusaha kecuali jika Serikat
Pekerja telah dianggap mampu maka ditanggung bersama.
H.PERJANJIAN KERJA
KHUSUS (PKK)
Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu
mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak yang lain atau majikan, selama waktu
tertentu sesuai perjanjian.
Dasar Hukumnya adalah :
1. Undang‐undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 59
tentang PKWT
2. Kepmenaker No. Kep. 100/Men/VI/2004 tentang ketentuan Pelaksanaan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
PKK
dirumuskan sebagai berikut :
1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Hal
tersebut diatas dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
PKWT
adalah Perjanjian Kerja antara pekerja dengan pengusaha, untuk mengadakan
hubungan
kerja dalam waktu tertentu dan atau pekerjaan tertentu.
Ketentuan
Umum PKWT :
1. Dibuat secara tertulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia
2. Didalamnya tidak boleh mempersyaratkan adanya masa percobaan, bila
dicantumkan masa percobaan, maka masa percobaan tersebut batal demi hukum
3. Dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut sifat, jenis, atau
kegiatannya akan selesai dalam waktu tertentu..
4. Nilai isi PKWT tidak boleh lebih rendah dari syarat‐syarat kerja yang
dimuat dalam Peraturan Perusahaan yang bersangkutan, jika lebih rendah yang berlaku
adalah apa yang termuat dalam Peraturan Perusahaan.
5. Dibuat rangkap 3 (pengusaha, pekerja, pemerintah/Depnaker) dan seluruh
biaya yang
timbul
karena pembuatan ini menjadi tanggung jawab pengusaha.
Ketentuan
Khusus PKWT :
1. Dibuat atas kemauan bebas kedua belah pihak.
2. Para pihak mampu dan cakap menurut Hukum untuk melakukan perikatan.
3. Adanya pekerjaan tertentu.
4. Yang disepakati tidak dilarang oleh undang‐undang atau tidak
bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
PKWT
yang tidak memenuhi item 1,2, ketentuan khusus diatas dapat dibatalkan,
sedangkan
yang
bertentangan dengan 3 dan 4 adalah batal demi hukum.
Adapun
yang dimaksud dengan pekerjaan tertentu sebagaimana tersebut diatas adalah :
1. Yang sekali selesai/sementara sifatnya.
2. Yang penyelesaian pekerjaannya diperkirakan tidak terlalu lama dan
paling lama 3 tahun
3. Yang bersifat musiman/berulang kembali.
4. Yang bukan merupakan kegiatan bersifat tetap dan tidak terputus‐putus.
5. Yang berhubungan dengan produk baru, atau kegiatan baru, atau tambahan
yang masih dalam percobaan/penjajagan.
Dalam
pembuatan PKWT, konsepnya terlebih dahulu harus diajukan ke kantor Depnaker
setempat
untuk disetujui. Dalam PKWT tersebut harus memuat :
1. Nama dan alamat pengusaha/perusahaan.
2. Nama, alamat, umur dan jenis kelamin pekerja.
3. Jabatan/jenis macam pekerjaan.
4. Besarnya upah dan cara pembayarannya.
5. Syarat‐syarat kerja yang memuat hak dan keajiban pengusaha dan pekerja.
6. Jangka waktu berlakunya perjanjian kerja.
7. Tempat atau lokasi kerja.
8. Tempat, tanggal perjanjian kerja dibuat, tanggal mulai berlakunya dan
berakhir serta ditandatangani oleh kedua belah pihak.
9. Hal‐hal yang dapat mengakhiri PKWT sebelum masa berlakunya habis.
Jangka waktu PKWT dapat diadakan paling lama 2 tahun, dan dapat
diperpanjang 1 kali
dengan
ketentuan jumlah seluruh tidak boleh lebih dari 3 tahun. Perubahan PKWT hanya
dapat
dilakukan 30 hari setelah berakhirnya PKWT yang lama. Sedangkan PKWT yang ingin
di
perpanjang
tanpa mengalami perubahan dapat dilakukan selambat‐lambatnya 7 hari
sebelum
Perjanjian Kerja berakhir. Perubahan dan perpanjangan ini berlakunya tidak
boleh
melebihi
masa maksimum berlangsung hubungan kerja PKWT.
PKWT
berakhir disebabkan oleh :
1. Berakhirnya waktu perjanjian kerja.
2. Berakhir dengan selesainya pekerjaan yang diperjanjikan.
3. Berakhir karena pekerja meninggal dunia.
PKWT tidak berakhir jika pengusaha meninggal dunia, ahli waris atau
pengurus perusahaan yang lain dapat melanjutkannya, kecuali dalam PKWT diperjanjikan lain.
Para pihak yang mengakhiri perjanjian secara sepihak tanpa alasan yang dapat
dipertanggungkan secara hukum diwajibkan membayar ganti rugi sebesar sisa upah masa berlakunya
PKWT.
2. Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tertentu (PKWTT)
Pada prinsipnya secara umum sama dengan PKWT. Dalam PKWTT, Perjanjian
Kerja dapat berlangsung selamanya sampai dengan pekerjaan yang diperjanjikan
tersebut tidak ada lagi, atau pekerjanya pensiun. Begitu pula dengan ketentuan‐ketentuan lainnya
hampir sama. Para Pihak bebas mengakhiri perjanjian, namum bila yang mengakhiri
pengusaha tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, maka pengusaha
wajib membayar pesangon, uang penghargaan masa kerja dan penggantian hak jasa dan
penggantian hak, sebagaimana diatur Undang‐undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.
DAFTAR
PUSTAKA
Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, 1995, Jakarta, Raja Grafindo
Persada.
Guntur, Agus.2010.Hubungan Industrial.Jakarta
http:// BAB-X-PERLINDUNGAN-PENGUPAHAN-DAN-KESEJAHTERAAN.htm
Susilo Martoyo, Manajemen Sumber Daya Manusia, 1987, Yogyakarta, BPFE.
Yunus Shamad, Hubungan Industrial di Indonesia, 1995,
Jakarta, Bina Sumber Daya
Manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar